SHARE

Imroatus Solihah

CARAPANDANG.COM - Gelombang Demonstrasi menuntut Presiden Joko Widodo mengeluarkan Perppu yang membatalkan Undang-Undang Cipta Kerja. Kata yang tepat dipakai sebetulnya bukan, membatalkan, melainkan Presiden membuat Peraturan Pemerintah Penggangti Undang-Undang (Perppu) yang kemudian disahkan dan otomatis mencabut Undang-Undang. Namun demikian, inisiatif Omnibus Law Cipta Kerja datang dari Presiden Jokowi yang ingin menggenjot investasi dan memangkas aturan yang dirasa menghambat. Jika dalam konteks politik praktis, mungkinkah Presiden Jokowi menerbitkan Perppu? 

Jalan tengah disampaikan oleh Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, melalui artikel Fikih Judicial Review yang diterbitkan pada Harian Republika, 19 Oktober 2020, Mu’ti menilai Peluang Perpu membatalkan UU Ciptaker sangat kecil, mengingat UU Ciptaker memuat lebih dari 70 Undang-Undang terkait. Jalan tengah yang coba ditawarkan oleh Abdul Mu’ti adalah dengan mengajukan Judicial Review pasal-pasal yang dirasa bertentangan dengan Konsitusi. 

Apa itu Omnibus Law?

Pertama-tama yang perlu diluruskan adalah sistematikan Omnibus Law yang dalam konteks hukum berarti hukum yang bisa mencakup satu isu besar tertentu yang pasal-pasal diantaranya bisa dirubah dan dihapus sesuai dengan kebutuhan Negara dalam rangka mewujudkan tujuan bersama. Dengan kata lain, Omnibus Law adalah metode atau konsep pembuatan regulasi  yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda menjadi dalam satu regulasi atau payung hukum. Metode omnibus Law lebih sering disebut Undang-undang sapu jagat ini lebih identik dengan Negara penganut sistem hukum common Law, meski begitu, banyak pihak menilai metode Omnibus Law dapat menjadi jalan keluar persolaan tumpang tindih dan disharmoni peraturan perundang-undangan.  

Misalnya, persoalan tumpang tindih aturan dalam Undang-Undang dengan UUD 1945 harus diuji materi-kan dulu ke Mahkamah Konsitusi. Disharmoni antar Undang-Undang, harus melalui proses perubahan Undang-Undang antara DPR dan Presiden, hal ini dipandang ribet menghambat proses percepatan kebutuhan aturan perundang-undangan tertentu. Metode Omnibus, dianggap efektif menangani persolaan tersebut. 

Namun demikian, banyak pihak juga menyayangkan penerapan metode Omnibus dalam sistemaika peraturan perundang-undangan di Indonesia, salah satunya Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof Maria Farida Indrati, menurutnya, Omnibus Law berpotensi merusak tatanan sistem kenegaraan, merusakan tatanan sistem perundang-undangan serta menimbulkan tumpang tindih aturan baru. Selain itu, omnibus law yang bisa mencabut, menggantikan, atau mengubah pasal dari banyaknya UU yang tergabung (74 UU dalam Omnibus Ciptaker) pasti sangat sulit menyusun dan membutuhkan kejelian. Alih-alih menjadi solusi, dikhawatirkan justru menjadi sumber masalah baru. 

Pandangan berbeda disampaikan Prof Jimly Asshiddiqie , Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) dan menulis Buku berjudul Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia, menurutnya, omnibus law merupakan teknik pembentukan UU. Omnibus Law berfungsi antara lain untuk menata hukum yang saling tumpang tindih dan mengintegrasikan beberapa regulasi ke dalam satu regulasi. Selain itu menurutnya, teknik omnibus law mampu menata hukum lebih cepat karena dalam pembahasan bisa menyasar banyak UU untuk dicabut atau diubah. Ketentuan yang masuk dalam omnibus law tidak melulu menghapus pasal, tapi juga bisa menambah atau mengubah. Keuntungan lain, teknik/metode omnibus law dapat digunakan untuk mengintegrasikan, harmonisasi, konsolidasi berbagai kebijakan hukum, menyelesaikan UU yang saling bertentangan substansinya. Hal ini karena sistem pembentukan peraturan Negara Indonesia yang menganut civil Law terlalu kaku mengakibatkan eksekutivisasi sistem legislasi. Hukum Indonesia sudah seharusnya mengurangi ketergantungan pada pembentukan UU dengan lebih meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas yudisprudensi dalam aneka penyelesaian masalah-masalah hukum dalam praktik.

Namun praktik pelaksanaan Omnibus Law di tengah pandemi Covid-19 membuat partisipasi masyarakat secara subsantif tidak maksimal dan berpotensi melanggar demokrasi. Selain itu, banyaknya muatan UU dalam omnibus Law cipta Kerja menurut Jimly terlalu gemuk, justru tidak substantif dan menyasar pokok permasalahan.

Namun sebenarnya secara yuridis normatif, bisakah Perppu membatalkan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja? 

Terlepas dari kabar dari Istana, bahwa presiden Jokowi tidak berniat menerbitkan Perppu guna membatalkan Omnibus Law UU Cipta kerja, namun secara yuridis normatif sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dalam pasal 1, menyebutkan, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Senada dengan itu, dalam Konstitusi UUD 1945 Pasal 22 (2) , Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.

Penjelasan lebih lanjut UU No. 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Perundang-Undangan dijelaskan dalam Perpres Peraturan Presiden (PERPRES) Nomor 87 Tahun 2014  tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 58 ayat (1) Presiden menugaskan penyusunan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang kepada Menteri yang tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan materi yang akan diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagai pemrakarsa.

Untuk kemudian ditetapkan oleh Presiden. Pemrakarsa (dalam hal ini menteri yang ditunjuk oleh Presiden) juga harus membuat Rancangan Undang-Undang untuk menetapkan Perppu sebagai Undang-Undang, dimana Undang-Undang tersebut mencabut Undang-Undang yang dimaksud dalam hal ini Undang-Undang Omnibus Law Cipta kerja. 

Namun pembentukan Perppu tersebut harus tetap mendapat persetujuan DPR, hal ini berdasarkan  Pasal 22 (2) UUD 1945, Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut. Ditegaskan kembali dalam Pasal 52 (1) UU 12 tahun 2011,  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut.

Bagaimana jika DPR tidak setuju dengan Perppu? Pasal 52 (5) UU 12 tahun 2011, Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang tidak mendapat persetujuan DPR dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku. 

Mengingat, omnibus cipta kerja berisi sekitar 74 Undang-Undang, dan metode omnibus dapat dikatakan merupakan metode baru dalam sistem peraturan peraundang-undangan di Indonesia, maka secara politik praktis, peluang Perppu dapat membatalkan Undang-Undang Omnibus Law cipta kerja sangat kecil apalagi inisiatif muatan materi Undang-Undang ini datang dari pemerintah sendiri. 

Judicial Review bisa batalkan UU

Judicial review atau hak uji materi merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga yang berwenang. Dalam hal Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja, maka pengujiannya diajukan ke Mahkamah Konstitusi sebagau mana ketentuan  Pasal 9 UU No. 12 tahun 2011, yang berbunyi: Dalam hal suatu Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. 

Banyak pihak yang tidak ingin menempuh jalur Judicial review karena dianggap hanya bisa menghapus pasal-pasal yang bertentangan dengan Konstitusi dalam arti uji materi, tidak dapat mencabut atau menghapus seluruh Undang-Undang, yakni uji formil. 

Mengutip mkri.go, jika suatu undang-undang atau salah satu bagian daripadanya dinyatakan terbukti tidak selaras dengan konstitusi, maka produk hukum itu akan dibatalkan MK. Sehingga semua produk hukum harus mengacu dan tak bolehbertentangan dengan konstitusi. Melalui kewenangan judicial review ini, MK menjalankan fungsinya mengawal agar tidak lagi terdapat ketentuan hukum yang keluar dari koridor konstitusi.

Diperkuat oleh Jimly Asshiddiqie, menurutnya proses pembentukan Undang-Undang dianggap melanggar UUD jika melangggar prinsip konstitusi, MK berwenang menyatakan proses pembentukan bertentangan dengan konstitusi sehingga Undang-Undang tidak berlaku untuk seluruhnya.  Menurutnya, judicial review ada dua jenis, yaitu uji materi dan uji formil. Selama ini, yang lebih sering bahkan hampir selalu diajukan adalah uji materi. Adapun uji formil, pernah juga dimintakan ke MK dan MA (untuk peraturan perundangan di bawah Undang-Undang) tetapi belum ada satu pun yang dikabulkan. Dalam kasus Undang-Undang Cipta Kerja, Jimly melihat ada peluang untuk pengajuan baik uji formil maupun uji materi. Bahkan, kesempatan bagi Mahkamah Konstitusi untuk pertama kali bisa membuat preseden putusan uji formil melalui judicial review Undang-Undang Cipta Kerja.

Lagipula MK dibentuk dengan fungsi untuk menjamin tidak akan ada lagi produk hukum yang keluar dari koridor konstitusi sehingga hak-hak konstitusional warga terjaga dan konstitusi itu sendiri terkawal konstitusionalitasnya. Menurut hemat penulis, jika Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dirasa telah keluar dari koridor konstitusi, maka MK sebagai lembaga menjaga konstitusi guna tegaknya prinsip konstitusionalitas hukum sudah seharusnya menggunakan kewenangannya untuk keadilan seluruh rakyat Indonesia.

Imroatus Solihah, Staff di Laboratorium Syariah Prodi Hukum Keluarga Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhamamdiyah Malang. 

Tags
SHARE